
Ditulis oleh: Agung Nugroho Adi, S.T., M.T.
Bismillahirrahmanirrahim.
Dalam Islam, akal adalah anugerah besar yang menjadikan manusia mampu memikul tanggung jawab moral dan spiritual sebagai khalifah di muka bumi. Kemampuan berpikir tidak hanya difungsikan untuk urusan duniawi, tetapi juga sebagai sarana mengenali kebenaran, memahami wahyu, dan mengambil pelajaran dari ciptaan Allah. Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk bertafakkur (merenung), bertadabbur (memahami petunjuk), dan berta’ammul (memperhatikan realitas sekitar). Menariknya, aktivitas berpikir ini bukan sekadar refleksi spiritual, tetapi juga dapat ditelaah secara sistematis dan rasional.
Salah satu cara untuk menelaah struktur berpikir manusia secara sistematis adalah melalui logika formal, khususnya logika proposisional. Logika proposisional membahas hubungan antarpernyataan berdasarkan relasi seperti AND (dan), OR (atau), dan NOT (tidak). Dengan logika ini, kita dapat menilai validitas suatu kesimpulan tanpa terikat pada isi pernyataannya. Meskipun lahir dari ranah filsafat dan matematika, pola logika semacam ini sering kali mencerminkan cara berpikir rasional yang sejalan dengan nilai-nilai wahyu—bukan karena wahyu tunduk pada logika, tetapi karena keduanya bersumber dari keteraturan ciptaan Allah.
Contoh menarik dapat ditemukan dalam Surat Al-‘Ashr, sebuah surat pendek yang sering dibaca dalam shalat, tetapi mengandung pesan yang sangat mendalam:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”
(Q.S. Al-‘Ashr: 1–3)
Jika dianalisis dengan logika proposisional, maknanya dapat disusun seperti berikut:
NOT (Merugi) = (Beriman) AND (Beramal Saleh) AND (Saling Menasihati Kebenaran) AND (Saling Menasihati Kesabaran).
Operator AND menunjukkan bahwa keberuntungan spiritual, menurut surat ini, tidak cukup hanya dengan satu unsur kebaikan. Ia merupakan gabungan dari empat elemen utama: keimanan, amal saleh, kepedulian terhadap kebenaran, dan kesabaran. Semuanya harus terpenuhi agar seseorang tergolong tidak merugi.
Dalam logika proposisional, terdapat prinsip yang dikenal sebagai Hukum De Morgan, salah satu bentuknya berbunyi:
NOT (A AND B) = NOT A OR NOT B.
Jika hukum ini diterapkan pada struktur surat Al-‘Ashr, hasilnya:
Merugi = (NOT Beriman) OR (NOT Beramal Saleh) OR (NOT Menasihati Kebenaran) OR (NOT Menasihati Kesabaran).
Artinya, kerugian tidak selalu disebabkan oleh ketiadaan total empat hal tersebut. Cukup satu saja yang diabaikan, maka seseorang sudah tergolong merugi. Maknanya dalam: kerugian spiritual dapat muncul karena kelalaian terhadap satu aspek kebaikan, meskipun aspek lain telah dilakukan.
Misalnya, seseorang mungkin beriman, beramal saleh, dan aktif menasihati dalam kebenaran, tetapi tidak sabar—mudah putus asa, kasar, atau tidak istiqamah—maka ia tetap tergolong merugi. Sebaliknya, seseorang mungkin sabar dan beriman, namun abai terhadap urusan sosial, tidak peduli atau enggan menasihati dalam kebenaran, maka ia pun belum keluar dari kerugian.
Analisis ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menekankan aspek ritual atau personal, tetapi juga keseimbangan antara keyakinan pribadi, perilaku moral, dan kontribusi sosial. Surat Al-‘Ashr, dengan struktur logis dan pesan moralnya, menegaskan bahwa keselamatan tidak lahir dari ibadah individual semata, melainkan dari sikap hidup yang utuh dan berorientasi kolektif.
Sebagai penutup, penting ditegaskan bahwa Al-Qur’an tentu bukan kitab logika, namun banyak ayatnya menunjukkan struktur berpikir yang tertib dan koheren. Ini menandakan bahwa akal sehat manusia yang bekerja secara logis sejatinya selaras dengan hikmah wahyu.
Merenungi struktur logis Surat Al-‘Ashr semestinya membuat kita semakin yakin bahwa Islam adalah agama yang rasional dan seimbang—menggabungkan iman, amal, dan kepedulian sosial sebagai satu kesatuan. Pesan surat ini tampak sederhana, tetapi jika dikaji dengan logika, tampak bahwa keselamatan tidak cukup hanya dengan iman atau amal pribadi. Kita dituntut hadir juga di tengah masyarakat: saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Di sinilah keindahan Islam: memadukan keyakinan, amal, dan kepedulian dalam satu kesatuan hidup. Maka, pertanyaan bagi diri kita masing-masing: Apakah kita telah memenuhi keempat unsur itu, atau masih ada satu yang kita abaikan—yang diam-diam menempatkan kita dalam kerugian?
Semoga kita termasuk golongan yang tidak hanya berpikir, tetapi juga bertindak; tidak hanya beriman, tetapi juga saling menguatkan—di jalan kebenaran dan kesabaran.
Wallahu a’lam bish-shawab.