Syarat Diterimanya Suatu Amalan
Diterbitkan: 30 January 2025
Tumbnail Faris

Oleh : Fariz Alfian, S.T

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ ونَسْتَعِينُهُ ونَسْتَغْفِرُهُ، ونَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، ومَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وأَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ. أَمَّا بَعْدُ:

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah.

Sebagai muslim yang taat, tentunya kita akan bersemangat dalam memperbanyak ibadah dan amal shaleh kita dalam rangka mencapai keridhoan Allah. Baik itu ibadah mahdoh (ibadah khusus) ataupun ibadah Ghairu mahdah (ibadah umum). Namun demikian, penting untuk kita ingat bahwasannya peribadatan-peribadatan yang kita lakukan, atau amalan yang kita lakukan tersebut tentunya harus memenuhi persyaratan. Mengapa perlu memenuhi persyaratan? Tentunya agar ibadah yang kita lakukan tersebut agar dapat diterima oleh Allah.

Lantas, dalam peribadatan kita sering kali memikirkan 2 hal, apakah amal yang banyak ataukah amal yang diterima yang akan kita kerjakan?

Sebagian besar dari kita tentu akan menjawab ” Amal yang banyak sekaligus diterima”. Memang dalam hal peribadatan, mustinya tidak perlu dipertentangkan tentang banyaknya amalan atau diterimanya amalan. Namun demikian, maksud dari pembahasan ini adalah hendahlah yang menajadi prioritas kita dalam beribadah adalah bagaimana agar supaya ibadah yang kita lakukan dapat diterima oleh Allah. Bukan semata-mata kita beribadah sebanyak-banyaknya tanpa memprioritaskan ibadah kita agar diterima Allah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahulloh :

أَنَّ الْفَضْلَ بِنَفْسِ الْعَمَلِ وَجَوْدَتِهِ لَا بِقَدْرِهِ وَكَثْرَتِهِ

”Sesungguhnya keutamaan suatu amalan terletak pada kualitas amalan itu sendiri, bukan hanya kadar dan jumlahnya (banyaknya).” (Majmu’ al-Fatawa 4/378)

Dengan demikian, dapat kita pahami bersama bahwasannya kita harus berupaya dan bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, serta kita wajib untuk memperhatikan dan memperbaiki kualitasnya. Dengan kata lain tidak sekedar kuantitasnya saja, namun kualitasnya juga perlu kita perhatikan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Mulk : 2.

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)

Syarat Diterimanya Amal Seorang Muslim adalah : Ikhlas dan Mutaba’ah (Mencocoki Tuntunan Rasulullah)

  1. Ikhlas Dalam Beramal Sholih

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Ghafir : 14.

فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ

 “Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan peribadahan dalam beragama hanya kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (Ghafir: 14)

Dalam riwayat lain Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَاْبتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan, kecuali (amalan) yang ikhlas dan mengharapkan wajah Allah semata.” (HR. an-Nasai no. 3140 dari sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasai no. 3140)

Kaum musliminyang dirahmati Allah, dengan demikian maka wajib bagi kita untuk selalu mengoreksi niat kita dalam beribadah. Apabila dalam ibadah muncul perasaan ingin dipuji, ingin didengar oleh orang lain, ingin dilihat oleh orang lain, kemudian ada kecintaan atas kedudukan, dll. Maka waspadalah wahai kaum muslimin yang dirahmatai Allah. Segeralah kita bertaubat kepada Allah, kita tampik dan kita lawan perasaan-parasaan yang muncul tersebut, dan bersegeralah kita memohon pertolongan dan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala.

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, bahwasannya perkara niat ini adalah perkara yang sungguh berat. Dalam sebuah riwayat Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي، لِأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ

“Tidaklah aku mengobati sesuatu pun yang lebih berat kurasakan daripada mengobati niatku. Sebab, niat itu berbolak-balik atasku.” (Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ no. 697)

Dalam riwayat lain,  yang diriwayatkan oleh Yusuf bin al-Husain rahimahullah mengatakan :

أَعَزُّ شَيْءٍ فِي الدُّنْيَا الْإِخْلَاصُ، وَكَمْ أَجْتَهِدُ فِي إِسْقَاطِ الرِّيَاءِ عَنْ قَلْبِي وَكَأَنَّهُ يَنْبُتُ فِيهِ عَلَى لَوْنٍ آخَرَ

“Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlas. Sungguh, betapa sering aku bersusah payah mengobati riya yang ada di dalam kalbuku, tiba-tiba riya itu muncul lagi dalam bentuk yang lain.” (Diriwayatkan oleh Abdul Karim al-Qusyairiy dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah hlm. 362)

Berdasarkan dari 2 riwayat diatas, maka dapat kita simpulkan bahwasannya perkara ikhlas dalam beribadah merupakan salah satu hal pokok yang mendasari ibadah kita agar dapat diterima. Tanpa niat ikhlas sudah barang tentu ibadah kita akan tertolak atau menjasi sia-sia. Wallahumustaan, semoga kita senantiasa terjaga niat kita dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

  1. Mutaba’ah (Mencocoki Sunnah dan Tuntunan Rasulullah)

 Dalam melakukan sebuah amalan, tentunya kita harus merujuk pada suatu contoh yang baik. Sebagai seorang muslim yang taat maka sudah barang pasti yang menjadi percontohan kita dalam hal ibadah yakni Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sebagai suri tauladan kita.

Berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Surat Ali-Imran : 31


قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad); niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak memerintahkannya, maka hal itu tertolak.” (HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari sahabiyah ‘Aisyah radhiallahu anha. Lafaz hadits di atas adalah lafaz Imam Muslim.)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimatulullah, bahwasannya Rasulullaoh Salallahu alaihi wassalam bersabda :

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

”Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Dan setiap yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. Muslim, Ahmad, An nasa’i)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Begitu pentingnya kita untuk ber mutaba’ah kepada Rasulullah. Bahkan apabila kita melakukan suatu amalan yang menyimpang, atau tidak sesuai dengan apa yang dianjurkan dan diajarkan oleh Rasulullah, maka sudah pati amalan kita tersebut dapat tertolak. Sia-sia. Ataupun tidak berpahala.

Lantas bagaimana dengan amalan yang dikerjakan oleh orang yang belum mengerti ilmunya?

Seandainya kita menganggap bahwa orang tersebut jahil (belum mengetahui bahwa amalannya adalah bid’ah), sedangkan orang yang jahil tentu tidak berdosa; apakah kita tetap bisa menghukumi bahwa amalannya tidak diterima (oleh Allah)? Tentunya amalan tersebut (tetap) tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Walaupun bisa jadi orang yang jahil tersebut diberi pahala karena niatnya yang baik dan keletihan dia ketika beramal. Namun, amalannya tetap tidak bisa dihukumi sebagai amal saleh.”

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah.

Dengan pembahasan singkat diatas, tentu kita akan memahami betapa pentingnya bersungguh-sungguh mempelajari ilmu agama. Dengan belajar, kita akan bisa mengetahui bagaimana cara untuk ikhlas dalam beribadah sehingga kita bisa mengupayakannya dan apa saja hal-hal yang dapat merusak keikhlasan sehingga kita bisa mewaspadainya. Demikian pula kita dapat menccontoh bagaimana tata cara ibadah sesuai tuntunan dan contoh dari Rasulullah dalam setiap amal soleh yang kita lakukan.

والله عالم بيشواب

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita supaya bisa beribadah dengan keikhlasan dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Akhirul kata, jika ada kata yang benar itu asalnya dari Allah semata, dan jik aada kata yang selah itu asalnya dari saya dan kita memohon ampun kepada Allah Subhanahu a ta’ala

Oleh: adi
Informasi Lainnya
Scroll to Top